Artikel
Tradisi Nyalamaq Dilauq Tanjung Luar
FESTIVAL BUDAYA BAHARI "NYELAMAQ DILAUQ" DESA TANJUNG LUAR.
https://youtu.be/E-Kzm_8j6bo RITUAL nyalamaq dilauq ini mulai diselenggarakan di Desa Tanjung Luar sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda. Waktu itu, para pembesar Belanda konon begitu antusias dengan acara ini, terutama pada saat siraman air laut. Mereka ikut disiram air laut dan sangat senang menonton acara pencak silat dengan iringan gendang pencak yang disebut sarone.
Seiring waktu, ritual ini sempat meredup pada zaman penjajahan Jepang. Upacara mengumpulkan massa sangat dilarang waktu itu. Karena Jepang khawatir akan muncul pengerahan massa yang menentang kehadiran mereka. Namun, nelayan Desa Tanjung Luar bersikeras melaksanakannya dengan dipimpin tokoh saat itu yang bernama Wak Nunok pada tahun 1943. Sejak saat itu, upacara ini tetap digelar rutin.
“Filosofinya adalah suku-suku Sulawesi perantauan bersama-sama melakukan nyelamaq dilauq di Desa Tanjung Luar,” ungkap salah satu tokoh masyarakat Desa Tanjung Luar, Digelarnya ritual nyelamaq dilauq ini dengan harapan nasib nelayan bisa lebih baik. Artinya, manusia dan laut sebagai bagian dari alam kehidupan ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa bisa terus bersahabat dan saling menjaga. Sehingga kedua ciptaan Tuhan ini terus saling memberikan kontribusi. Sehingga ritual itu digelar sebagai wujud rasa syukur manusia terhadap kontribusi alam ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa. nyelamaq dilauq ini adalah tradisi nelayan suku Bajo yang telah beranak pinak di Desa Tanjung Luar sejak ratusan tahun silam. Biasanya dikenal juga dengan istilah nyelamaq di lauq (Selamatan Laut) atau nyelamaq palabuang (menyelamatkan pelabuhan) yang sudah sering dilakukan masyarakat.
Sebelum memulai ritual, masayarakat setempat mengarak seekor kerbau keliling kampung selama 3 hari berturut-turut untuk kemudian disembelih. Nah, kepala kerbau inilah yang kemudian dibuang ke tengah laut. Pembuangannya inilah yang kemudian disakralkan dalam ritual khusus masyarakat Desa Tanjung Luar. Mereka menyebutkan dengan istilah nibak tikolok (Melarung Kepala Kerbau).
Kepala kerbau ini yang disertai benang-benag emas dilepas beramai-ramai. Bahkan, nyaris semua Masyarakat Desa Tanjung Luar ikut melepas menggunakan sampan ke tengah laut di gugusan sebuah terumbu karang cincin. Jaraknya berkisar 1-3 mil dari daratan. Riuh ritual ini semakin kental ketika suara Sarone berpadu dengan suara hiruk pikuk nelayan di sampan. Puluhan, bahkan ratusan sampan dilayarkan dalam ritual ini.
‘’Tempat pelepasan kepala kerbau di lokasi terumbu karang ini sudah ditentukan sejak ratusan tahun silam, ’’Sebelum melepas kepala kerbau ini, pemangku adat akan mendapatkan tanda atau bisikan. Baru kemudian rombongan nelayan akan berangkat menggunakan perahu.
Proses pelepasan kepala kerbau pada acara nyelamaq di lauq ini tidak bisa ditunjukkan oleh orang biasa. Ada sejumlah masyarakat dalam kondisi kesurupan yang akan menunjukkan lokasi tempat terumbu karang berada. Tempat ini juga dipercayai sebagai lokasi menghilangnya salah satu tokoh Desa Tanjung Luar pada masa sebelum ritual ini dilakukan.